Minggu, 15 Januari 2012

HOME SWEET HOME

Coba baca Kompas tertanggal hari ini di halaman utama tentang Kenakalan Remaja yang berjudul : Iseng, Lima Siswa SMP Bakar Kelas. Berasal dari bete hingga menjadi iseng beberapa teman menjadi terpengaruh dengan seseorang yang hanya bete ga karuan. Ntahlah hanya karena bete sebabnya ataukah ada yang lain pihak kepolisian sedang taraf menyelidiki.

Namun yang ingin saya kedepankan dalam tulisan ini adalah suatu 'persahabatan' dalam kehidupan rumah tangga antar anggota keluarga. Kemaren saya menulis tentang JATUH CINTA. Setelah saya membaca komentar/ulasan dari teman-teman saya semakin mempunyai gambaran yang jelas bagaimana dan apakah itu jatuh cinta dalam setiap lapisan masyarakat. Jatuh cinta yang memiliki komitmen untuk bersama dan saling memiliki tentu membuahkan buah cinta yang kita sebut anak. Menuliskan ini membuat pandangan saya semakin kabur dengan judul di atas apabila kita melihat kenyataan hidup jaman sekarang di mana segala kegiatan menyita banyak sekali waktu bagi pasangan suami istri sehingga anak seakan menjadi pemain tunggal dalam kehidupan. Awal mula yang akrab, anak yang imut-imut, di timang dan di cium-cium kini telah menjadi momok bagi ayah bunda. Apakah benar anak yang menjadi momok? Dari mana datangnya momok? Dari mana datangnya anak?

Kecemasan manusia terhadap segala keinginan ataupun kebutuhan hidup menjadikan manusia sebagai robot kehidupan yang harus mengejawantahkan kehidupan dengan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Seakan-akan materi adalah solusi dari semua permasalahn kehidupan. Kebersamaan adalah nomor sekian, keakraban dan kasih persaudaraan semakin tipis bahkan cenderung tidak ada lagi. Masing-masing manusia dalam satu rumah tidak mempunyai waktu untuk memikirkan satu sama lain. Suami tidak mengasihi istri, istri tidak tunduk pada suami, anak tidak menghormati orang tua. Siklus seperti ini akan menjadi bumerang dan bom waktu bagi masyarakat. Sebagai contoh adalah yang dapat kita baca di koran hari ini. Hanya seorang anak yang bete, mengikutkan beberapa teman, meresahkan sekolah, masyarakat dan negara.

Semakin kita menyadari bahwa (kembali kepada budaya dan bernegara) meningkatkan kualitas kehidupan bermasyarakat, berbudaya dan bernegara adalah berpulang kepada diri masing-masing bagaimana kita menyikapi diri kita, kehidupan sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan, anak, keluarga, tetangga, masyarakat dan negara.

Sesungguhnya, bagaimanakah kita menempatkan keakraban dalam kehidupan kita sebagai keluarga di mana kehidupan yang menuntut mobilitas tinggi ini harus tetap dipertahankan atau bahkan ditingkatkan? Kembali kita berpikir ulang, sejauh mana sesungguhnya tuntutan kehidupan yang harus dipertahankan ataupun ditingkatkan? Bagaimana pikiran Anda tentang materi yang harus diberikan kepada anggota keluarga? Bagaimana Anda mengelola keakraban dalam rumah tangga?

Sedikit saya membuka kehidupan saya bersama anak saya di rumah. Dengan sadar bahwa dia adalah anak remaja yang sedang puber (kls 8) meskipun dia mempersilahkan saya bekerja namun saya harus tanggap bahwa bekerja di luar tidak akan membuat saya dan anak akan menjadi lebih baik secara kebersamaan ataupun secara ekonomi. Bukan maksud saya untuk membuat virus sehingga menjadi pemalas bahkan tidak sama sekali. Saya semakin mendekatkan diri kepada anak, share mengenai hatinya meskipun terkadang ada hal pribadi yang tidak mau dia ungkapkan, secara pribadi saya tidak mau memaksa namun keterbukaan, kejujuran dan keterusterangan yang kami bina bersama menghasilkan sikap saling percaya sehingga tidak ada rahasia yang tidak dapat diungkapkan anak saya, dengan adanya rasa saling percaya maka rasa memiliki kami semakin erat. Saya berharap banyak, budaya kita bukanlah budaya yang tidak berbudaya bahkan budaya kita mengajarkan untuk saling mengasihi dan menghormati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar